Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
KURANG sejahteranya guru di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Maka,
tak heran bila guru banyak yang bekerja sampingan untuk menutupi kebutuhan
keluarganya. Bahkan, tidak sedikit yang berbuat curang dengan melakukan praktik
manipulasi nilai siswanya dengan sejumlah bayaran. Mengerikan bukan. Ini
fenomena yang hingga kini belum kunjung usai. Mengapa ini terjadi dan siapa
yang salah? Jangan tanya pada rumput yang bergoyang.
Untuk memahami dan mengetahui lebih jauh perihal pendidikan dan guru di
negeri tercinta ini, reporter Ahmad Sahidin dari Majalah
Swadaya mewawancarai Ir. Giri Suryatmana, Wakil Sekretaris
Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Pusat) Jakarta, di kediamannya Jalan
Sangkuring S-8 (Kompleks Dosen ITB) Bandung, Jawa Barat. Berikut kutipan wawancaranya.
Apa yang melatarbelakangi diadakannya pelatihan guru berbasis
Manajemen Qalbu yang bekerjasama dengan Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid dan
Departemen Pelatihan MQ Yayasan Daarut Tauhiid beberapa waktu lalu?
Latar belakangnya karena kita membutuhkan perubahan cara berfikir para guru.
Selama ini, proses belajar mengajar yang mereka lakukan itu hanya satu arah.
Jadi, guru berperan sebagai satu-satunya sumber ilmu. Ini yang pertama. Kedua,
kurang melibatkan siswa dalam menetapkan target belajar. Mereka itu dianggap
objek saja. Ini sudah berpuluh-puluh tahun dilakukan. Maaf, mungkin karena
sistemnya dulu itu top-down, satu arah, tapi berpengaruh juga kepada para guru.
Seolah-olah tinggal perintah saja kepada siswa. Tidak ada kenikmatan belajar.
Guru itu bukan satu-satunya sumber ilmu. Guru itu berperan sebagai
fasilitator, motivator, dan pembangun team work bagi para siswa. Sehingga, guru
nanti tidak lagi mendorong anak-anak untuk belajar saja, tetapi membangun team
work antara guru dan para pelajar. Mereka bisa menetapkan target belajar.
Contohnya, kita tetapkan UAN (Ujian Akhir Nasional) mencapai rata-rata tujuh.
Nah, siapa yang lemah kita movitasi dan siapa yang sudah menguasai harus
membantu. Semua itu kita dapatkan ketika ikut pelatihan di Daarut Tauhiid.
Menurut Bapak, manfaat apa yang didapat para guru yang jadi peserta
pelatihan kemarin?
Mereka antusias. Selama ini tidak terbayang kalau kita bekerja dalam team
work, target itu jadi lebih enteng, dan pencapaian lebih menyenangkan. Saya
lihat mereka enjoy karena ada proses-proses belajar yang menyenangkan. Itu yang
mereka dapatkan.
Jadi, dengan pelatihan Menejemen Qalbu (MQ) di Daarut Tauhiid
kemarin itu berharap ada perubahan paradigma?
Ya, karena saya melihat kelemahan dari paradigma yang ada atau diberlakukan
hingga saat ini. Saya punya data, sistem belajar anak-anak kita itu dipercepat,
diberondong, sehingga capaiannya tak berhasil. Ini yang riil jika dibanding
negara Malaysia atau Singapura, jam belajar kita itu lebih tinggi dibandingkan kedua
negara itu. Tapi hasilnya apa, kita itu paling rendah. Dari kemampuan
matematika saja, Singapura itu jam belajarnya hanya 154. Ada ukurannya.
Malaysia 160. Nah, kita jam belajar-mengajarnya lebih banyak. Tapi hasilnya
kita paling rendah.
Mengapa itu bisa terjadi?
Ibarat makan, anak itu dipaksa, nggak ada gizinya lagi. Di Singapura dikasih
makan dua kali tapi gizinya penuh, kita lima kali sehari tapi bakatul hungkul
(sejenis makanan untuk unggas—red). Itu memang faktanya. Namun, yang perlu
dicermati kita harus kembali kepada kompotensi gurunya. Saya punya data. Guru
matematika SMA yang memberi soal ujian SMA, hanya 20% yang lulus dan 80%-nya di
bawah standar. Ini akibat dari kurangnya bangsa ini memfasilitasi dan memberi
kelayakan jasa untuk para guru. Kemarin sempat saya dengar ada kenaikan
tunjangan guru. Eeh dari atas, nanti saja dulu, karena naik seratus ribu saja
itu butuh Rp. 3 triliun. Akhirnya, guru sampai sekarang tunjangannya paling
rendah. Kalah sama penyuluh pertanian. Tunjangan fungsional misalnya, sekitar
lima ratus ribu. Guru hanya seratus sampai dua ratus ribu.
Nah, sekarang ini dengan adanya Undang-undang Guru, guru itu harus dapat
insentif atau tunjangan-tunjangan yang menggiurkan. Sehingga, orang-orang
terbaiklah nantinya yang akan jadi guru. Sekarang, yang jadi guru itu kan
orang-orang yang berprinsip “daripada nganggur.” Apa yang mau dicapai dengan
kondisi guru seperti itu. Sekarang ini harus ada perbaikan dari berbagai aspek.
Dan, itu sudah menjadi komitmen bangsa ini melalui Undang-undang Guru bahwa
guru harus sehat. Guru harus bersertifikat sebagai pendidik, mendapat tunjangan
dan satu kali gaji. Jadi, nanti guru baru yang masuk sebagai guru, dapat
tunjangan satu kali gaji dan tunjangan. Kalau dia mau ditugaskan di daerah
terpencil tambah lagi tunjangannya jadi empat kali gaji. Ya, empat kali gaji
dibanding yang lain, ditambah perumahan. Di samping itu, kalau tunjangan ini
tidak dibarengi dengan sistem yang bagus, tidak akan jadi apa-apa.
Kalau fungsi guru sebenarnya apa dalam pendidikan dan pengajaran
ini?
Fungsinya adalah membantu agar anak didik atau siswa itu menjadi subjek,
bukan objek. Guru berfungsi sebagai pendorong, powering, motivator dan
membangun team work. Bisa menetapkan target belajarnya. Ini ada yang sulit nih,
tapi bagaimana caranya agar semua berhasil. Jadi, kalau ada 40 anak dalam satu
kelas jangan ada yang ketinggalan prestasinya, kalau ada yang kurang, ayo
bantu. Itu kan terasa, kalau kompak kan cepat. Kalau team work berjalan,
bersatu semua kan gampang. Nah, dari pelatihan MQ kemarin saya melihat simulasi
ini, bahwa tiap kelas harus bersaing secara sehat. Kalau sekarang kan gila,
kecurangan-kecurangan dalan ujian nasional malah nampak.
Apa yang menyebabkan guru melakukan kecurangan seperti itu?
Itu terjadi karena para guru itu ditekan oleh birokrat agar nilai ujian di
atas rata-rata nilai nasional. Sampai ada kelompok guru di Medan yang
mengatakan bahwa ini pembodohan nasional. Mereka sedih dengan kelakuan-kelakuan
kepala birokrat yang menekan mereka. Kasus ini harus kita angkat ke tingkat
nasional, kita hukum birokratnya tanpa ampun. Mereka itu menjadi korban ambisi
para birokrat. Nah, nanti kita buat aturan bahwa para birokrat yang mengurus
pendidikan itu profesional.
Jadi, selama ini sistemlah yang menjadikan generasi bangsa kita
lembek, tak berkualitas?
Ya, kita sadar ada suatu sistem yang membuat bangsa ini lembek. Bila kita
bandingkan dengan negara Malaysia sangat jauh kualitasnya. Maaf, 2/3 anak kita
ini pola berfikirnya hanya kuat di hafalan saja. Ini grade-nya budak. Harusnya,
anak kita itu 2/3-nya punya kemampuan berfikir kreatif dan logis. Ini grade-nya
ilmuwan. Maka, tak heran hingga saat ini negara kita masih rendah dibandingkan
negara-negara lain. Anak-anak kita mah kualifikasinya buruk. Sekolah memang
sekolah, tapi tak berkualitas, asal sekolah.
Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya?
Ya, semua pihak, termasuk guru, birokrat dan unsur-unsur yang terkait
bertanggungjawab terhadap persoalan ini. Ke depannya, agar bisa naik, guru
harusnya sudah diberikan keleluasaan untuk mengatur sendiri silabusnya. Guru
sudah diberi ruang untuk kreatif dan inovatif. Guru dalam mengajarnya harus
menggunakan standar kompetensinya, ini standar isi dari visi generiknya, ini
ujiannya. Bagaimana cara dan metode mengajarnya, atau bagaimana guru mengatur
silabusnya, itu diserahkan masing-masing daerah yang mengatur sendiri. Ini kan
kreatif. Maka, guru dan siswa itu yang harus kita bangun. Ada target nasional,
masa kalah oleh Malaysia yang rata-rata mereka nilainya 8. Kita bikin team
work, dari 40 anak mana yang paling pintar. Yang cerdas kita jadikan asisten
dan untuk membantu. Seperti kemarin dalam pelatihan MQ, bikin kelompok dan kita
gempur dengan target rata-rata delapan. Kalau ada yang masih lemah, kita bantu.
Kalau itu bisa dimasyarakatkan kepada seluruh warga, insya Allah akan terjadi
lompatan.
Selama ini, usaha apa yang dilakukan lewat birokrasi dan bagaimana
tantangannya?
Paling berat adalah mengubah pola pikir birokrat di daerah. Celakanya,
sekarang kan sudah desentralisasi. Yang katanya demokratis, ternyata melahirkan
birokrasi-birokrasi yang tidak kompeten. Umumnya penunjukan kepala dinas itu
tergantung situasi politik lokal. Siapa yang menjadi Bupati, dia yang jadi tim
suksesnya dijadikan kepala dinas pendidikan meskipun ia itu mantri pasar atau
mantri kuburan. Kan tidak lucu. Tetapi, karena dia punya massa, ya diangkat.
Ini terjadi di kabupaten. Tidak tahu apa-apa soal pendidikan, ngurus
pendidikan. Yang bahaya itu dia punya kuasa, tapi dia tidak kompeten. Sehingga
nuansa sentralistik yang ada dipusat itu ada di kabupaten. Celakanya lagi,
Uundang-undang No. 22 itu kan desentralisasi pendidikan. Orang Perancis saja
kaget, mana ada pendidikan disentralisasikan. Sekarang untuk menanggulangi itu
proses desentralisasi pendidikan itu langsung saja ke bawah. Nantinya kita ikut
bertanggung jawab, sehingga wewenang yang lebih besar kepada tiga kelompok.
Pertama, kelompok profesional pengawas, yang selama ini lumpuh. Kedua,
kelompok kerja kepala sekolah. Dan ketiga, kelompok kerja guru. Tiga inilah
yang akan kita jadikan sokoguru terjadinya perbaikan mutu ditingkat Kabupaten.
Dan, dinas itu hanya menjadi fasilitator. Jadi yang menentukan arah pendidikan
kita adalah mereka bertiga. Dan umumnya saya punya opini mereka itu orang yang
bagus, asal difasilitasi saja. Saya inginnya model pelatihan kemarin melibatkan
tiga poin tadi. Harus sinergi. Harus ada semacam proses mengawasi dari mereka
sendiri.
Bagaimana mewujudkannya?
Kita kerjasama dengan beberapa negara donor untuk memperkuat tiga soko guru
tadi. Saya optimis. Saya melihat situasi seperti ini merupakan tantangan. Ini
pekerjaan kita semua. Ya, harus dikerjakan tanpa kecuali. Kalau kita mau maju
dan untuk tegaknya itu harus membangun apresiasi masyarakat.
Seberapa besar Bapak yakin terhadap apa yang digulirkan memberikan
solusi yang terbaik untuk bangsa?
Insya Allah, saya yakin. Saya harus yakin bagaimana
memikirkannya untuk ngarojong guru. Mari kita perbaiki dulu makannya,
pendidikan anaknya, harkat martabatnya. Jangan mendzalimi, jadikan dia sebagai
pilar profesional. Selama ini anggaran Pemda banyak dipake untuk pembangunan
fisik, bukannya membangun sumber daya manusia yang unggul dan cerdas. Kalau mau
maju, kita harus belajar dari Cina. Cina berhasil karena para gurunya. Guru di
sana beda dengan guru di sini. Rumahnya saja seperti kandang kambing kalau di
sini. Guru di Cina itu diimpor dari berbagai negara sambil memperbaiki kondisi
gurunya.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Referensi : http://MajalahSwadaya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar