Senin, 27 Februari 2012

Pra Kata

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.


KURANG sejahteranya guru di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Maka, tak heran bila guru banyak yang bekerja sampingan untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Bahkan, tidak sedikit yang berbuat curang dengan melakukan praktik manipulasi nilai siswanya dengan sejumlah bayaran. Mengerikan bukan. Ini fenomena yang hingga kini belum kunjung usai. Mengapa ini terjadi dan siapa yang salah? Jangan tanya pada rumput yang bergoyang.

Untuk memahami dan mengetahui lebih jauh perihal pendidikan dan guru di negeri tercinta ini, reporter Ahmad Sahidin dari Majalah Swadaya mewawancarai Ir. Giri Suryatmana, Wakil Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Pusat) Jakarta, di kediamannya Jalan Sangkuring S-8 (Kompleks Dosen ITB) Bandung, Jawa Barat. Berikut kutipan wawancaranya.

Apa yang melatarbelakangi diadakannya pelatihan guru berbasis Manajemen Qalbu yang bekerjasama dengan Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid dan Departemen Pelatihan MQ Yayasan Daarut Tauhiid beberapa waktu lalu?

Latar belakangnya karena kita membutuhkan perubahan cara berfikir para guru. Selama ini, proses belajar mengajar yang mereka lakukan itu hanya satu arah. Jadi, guru berperan sebagai satu-satunya sumber ilmu. Ini yang pertama. Kedua, kurang melibatkan siswa dalam menetapkan target belajar. Mereka itu dianggap objek saja. Ini sudah berpuluh-puluh tahun dilakukan. Maaf, mungkin karena sistemnya dulu itu top-down, satu arah, tapi berpengaruh juga kepada para guru. Seolah-olah tinggal perintah saja kepada siswa. Tidak ada kenikmatan belajar.
Guru itu bukan satu-satunya sumber ilmu. Guru itu berperan sebagai fasilitator, motivator, dan pembangun team work bagi para siswa. Sehingga, guru nanti tidak lagi mendorong anak-anak untuk belajar saja, tetapi membangun team work antara guru dan para pelajar. Mereka bisa menetapkan target belajar. Contohnya, kita tetapkan UAN (Ujian Akhir Nasional) mencapai rata-rata tujuh. Nah, siapa yang lemah kita movitasi dan siapa yang sudah menguasai harus membantu. Semua itu kita dapatkan ketika ikut pelatihan di Daarut Tauhiid.

Menurut Bapak, manfaat apa yang didapat para guru yang jadi peserta pelatihan kemarin?
Mereka antusias. Selama ini tidak terbayang kalau kita bekerja dalam team work, target itu jadi lebih enteng, dan pencapaian lebih menyenangkan. Saya lihat mereka enjoy karena ada proses-proses belajar yang menyenangkan. Itu yang mereka dapatkan.

Jadi, dengan pelatihan Menejemen Qalbu (MQ) di Daarut Tauhiid kemarin itu berharap ada perubahan paradigma?
Ya, karena saya melihat kelemahan dari paradigma yang ada atau diberlakukan hingga saat ini. Saya punya data, sistem belajar anak-anak kita itu dipercepat, diberondong, sehingga capaiannya tak berhasil. Ini yang riil jika dibanding negara Malaysia atau Singapura, jam belajar kita itu lebih tinggi dibandingkan kedua negara itu. Tapi hasilnya apa, kita itu paling rendah. Dari kemampuan matematika saja, Singapura itu jam belajarnya hanya 154. Ada ukurannya. Malaysia 160. Nah, kita jam belajar-mengajarnya lebih banyak. Tapi hasilnya kita paling rendah.

Mengapa itu bisa terjadi?
Ibarat makan, anak itu dipaksa, nggak ada gizinya lagi. Di Singapura dikasih makan dua kali tapi gizinya penuh, kita lima kali sehari tapi bakatul hungkul (sejenis makanan untuk unggas—red). Itu memang faktanya. Namun, yang perlu dicermati kita harus kembali kepada kompotensi gurunya. Saya punya data. Guru matematika SMA yang memberi soal ujian SMA, hanya 20% yang lulus dan 80%-nya di bawah standar. Ini akibat dari kurangnya bangsa ini memfasilitasi dan memberi kelayakan jasa untuk para guru. Kemarin sempat saya dengar ada kenaikan tunjangan guru. Eeh dari atas, nanti saja dulu, karena naik seratus ribu saja itu butuh Rp. 3 triliun. Akhirnya, guru sampai sekarang tunjangannya paling rendah. Kalah sama penyuluh pertanian. Tunjangan fungsional misalnya, sekitar lima ratus ribu. Guru hanya seratus sampai dua ratus ribu.
Nah, sekarang ini dengan adanya Undang-undang Guru, guru itu harus dapat insentif atau tunjangan-tunjangan yang menggiurkan. Sehingga, orang-orang terbaiklah nantinya yang akan jadi guru. Sekarang, yang jadi guru itu kan orang-orang yang berprinsip “daripada nganggur.” Apa yang mau dicapai dengan kondisi guru seperti itu. Sekarang ini harus ada perbaikan dari berbagai aspek. Dan, itu sudah menjadi komitmen bangsa ini melalui Undang-undang Guru bahwa guru harus sehat. Guru harus bersertifikat sebagai pendidik, mendapat tunjangan dan satu kali gaji. Jadi, nanti guru baru yang masuk sebagai guru, dapat tunjangan satu kali gaji dan tunjangan. Kalau dia mau ditugaskan di daerah terpencil tambah lagi tunjangannya jadi empat kali gaji. Ya, empat kali gaji dibanding yang lain, ditambah perumahan. Di samping itu, kalau tunjangan ini tidak dibarengi dengan sistem yang bagus, tidak akan jadi apa-apa.

Kalau fungsi guru sebenarnya apa dalam pendidikan dan pengajaran ini?
Fungsinya adalah membantu agar anak didik atau siswa itu menjadi subjek, bukan objek. Guru berfungsi sebagai pendorong, powering, motivator dan membangun team work. Bisa menetapkan target belajarnya. Ini ada yang sulit nih, tapi bagaimana caranya agar semua berhasil. Jadi, kalau ada 40 anak dalam satu kelas jangan ada yang ketinggalan prestasinya, kalau ada yang kurang, ayo bantu. Itu kan terasa, kalau kompak kan cepat. Kalau team work berjalan, bersatu semua kan gampang. Nah, dari pelatihan MQ kemarin saya melihat simulasi ini, bahwa tiap kelas harus bersaing secara sehat. Kalau sekarang kan gila, kecurangan-kecurangan dalan ujian nasional malah nampak.

Apa yang menyebabkan guru melakukan kecurangan seperti itu?
Itu terjadi karena para guru itu ditekan oleh birokrat agar nilai ujian di atas rata-rata nilai nasional. Sampai ada kelompok guru di Medan yang mengatakan bahwa ini pembodohan nasional. Mereka sedih dengan kelakuan-kelakuan kepala birokrat yang menekan mereka. Kasus ini harus kita angkat ke tingkat nasional, kita hukum birokratnya tanpa ampun. Mereka itu menjadi korban ambisi para birokrat. Nah, nanti kita buat aturan bahwa para birokrat yang mengurus pendidikan itu profesional.

Jadi, selama ini sistemlah yang menjadikan generasi bangsa kita lembek, tak berkualitas?
Ya, kita sadar ada suatu sistem yang membuat bangsa ini lembek. Bila kita bandingkan dengan negara Malaysia sangat jauh kualitasnya. Maaf, 2/3 anak kita ini pola berfikirnya hanya kuat di hafalan saja. Ini grade-nya budak. Harusnya, anak kita itu 2/3-nya punya kemampuan berfikir kreatif dan logis. Ini grade-nya ilmuwan. Maka, tak heran hingga saat ini negara kita masih rendah dibandingkan negara-negara lain. Anak-anak kita mah kualifikasinya buruk. Sekolah memang sekolah, tapi tak berkualitas, asal sekolah.
Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya?
Ya, semua pihak, termasuk guru, birokrat dan unsur-unsur yang terkait bertanggungjawab terhadap persoalan ini. Ke depannya, agar bisa naik, guru harusnya sudah diberikan keleluasaan untuk mengatur sendiri silabusnya. Guru sudah diberi ruang untuk kreatif dan inovatif. Guru dalam mengajarnya harus menggunakan standar kompetensinya, ini standar isi dari visi generiknya, ini ujiannya. Bagaimana cara dan metode mengajarnya, atau bagaimana guru mengatur silabusnya, itu diserahkan masing-masing daerah yang mengatur sendiri. Ini kan kreatif. Maka, guru dan siswa itu yang harus kita bangun. Ada target nasional, masa kalah oleh Malaysia yang rata-rata mereka nilainya 8. Kita bikin team work, dari 40 anak mana yang paling pintar. Yang cerdas kita jadikan asisten dan untuk membantu. Seperti kemarin dalam pelatihan MQ, bikin kelompok dan kita gempur dengan target rata-rata delapan. Kalau ada yang masih lemah, kita bantu. Kalau itu bisa dimasyarakatkan kepada seluruh warga, insya Allah akan terjadi lompatan.
Selama ini, usaha apa yang dilakukan lewat birokrasi dan bagaimana tantangannya?
Paling berat adalah mengubah pola pikir birokrat di daerah. Celakanya, sekarang kan sudah desentralisasi. Yang katanya demokratis, ternyata melahirkan birokrasi-birokrasi yang tidak kompeten. Umumnya penunjukan kepala dinas itu tergantung situasi politik lokal. Siapa yang menjadi Bupati, dia yang jadi tim suksesnya dijadikan kepala dinas pendidikan meskipun ia itu mantri pasar atau mantri kuburan. Kan tidak lucu. Tetapi, karena dia punya massa, ya diangkat. Ini terjadi di kabupaten. Tidak tahu apa-apa soal pendidikan, ngurus pendidikan. Yang bahaya itu dia punya kuasa, tapi dia tidak kompeten. Sehingga nuansa sentralistik yang ada dipusat itu ada di kabupaten. Celakanya lagi, Uundang-undang No. 22 itu kan desentralisasi pendidikan. Orang Perancis saja kaget, mana ada pendidikan disentralisasikan. Sekarang untuk menanggulangi itu proses desentralisasi pendidikan itu langsung saja ke bawah. Nantinya kita ikut bertanggung jawab, sehingga wewenang yang lebih besar kepada tiga kelompok.
Pertama, kelompok profesional pengawas, yang selama ini lumpuh. Kedua, kelompok kerja kepala sekolah. Dan ketiga, kelompok kerja guru. Tiga inilah yang akan kita jadikan sokoguru terjadinya perbaikan mutu ditingkat Kabupaten. Dan, dinas itu hanya menjadi fasilitator. Jadi yang menentukan arah pendidikan kita adalah mereka bertiga. Dan umumnya saya punya opini mereka itu orang yang bagus, asal difasilitasi saja. Saya inginnya model pelatihan kemarin melibatkan tiga poin tadi. Harus sinergi. Harus ada semacam proses mengawasi dari mereka sendiri.

Bagaimana mewujudkannya?
Kita kerjasama dengan beberapa negara donor untuk memperkuat tiga soko guru tadi. Saya optimis. Saya melihat situasi seperti ini merupakan tantangan. Ini pekerjaan kita semua. Ya, harus dikerjakan tanpa kecuali. Kalau kita mau maju dan untuk tegaknya itu harus membangun apresiasi masyarakat.

Seberapa besar Bapak yakin terhadap apa yang digulirkan memberikan solusi yang terbaik untuk bangsa?
Insya Allah, saya yakin. Saya harus yakin bagaimana memikirkannya untuk ngarojong guru. Mari kita perbaiki dulu makannya, pendidikan anaknya, harkat martabatnya. Jangan mendzalimi, jadikan dia sebagai pilar profesional. Selama ini anggaran Pemda banyak dipake untuk pembangunan fisik, bukannya membangun sumber daya manusia yang unggul dan cerdas. Kalau mau maju, kita harus belajar dari Cina. Cina berhasil karena para gurunya. Guru di sana beda dengan guru di sini. Rumahnya saja seperti kandang kambing kalau di sini. Guru di Cina itu diimpor dari berbagai negara sambil memperbaiki kondisi gurunya.

Wassalaamu'alaikum Wr. Wb. 

Referensi : http://MajalahSwadaya.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar